Syukuran kupatan tradisi yang perlu dimaknai

Syukuran kupatan tradisi yang perlu dimaknai

Kupatan atau kupat sudah tidak asing di telinga kita. Sebuah tradisi setelah hari raya idul fitri selang 6 hari setelah lebaran. Adat istiadatnya ada sekelompok orang yang terampil dalam membuat kupat bergotong royong membuat kupat dari janur atau daun kelapa muda. Biasanya dikerjakan bersama anak-anak kecil. Agar anak anak kecil kelak bisa terampil membuat kupat. Setelah terkumpul dalam jumlah yang cukup banyak di jual dengan harga yang sewajar nya kepada tetangga. Namun di era serba instan ini buda gotong royong membuat kupat ini luntur. Orang lebih suka membeli kupat jadi yang tersedia di pasar pasar atau bakol etek.

Apa makna kupat dan sejarah kupat dan relevansi dengan kondisi saat ini.

Kupat sebagaimana kita ketahui arti secara umum dalam istilah jawa. “ Laku papat “ atau “ Ngaku Lepat “ atau ada juga yang mengartikan “ Ngaturaken lepat”. Kata kata kupat diambil dari suku kata suku kata pada kosa kata tersebut dengan singkatan “Kupat”. Karena sebuah tradisi yang sering diulang akhirnya lebih sering disebut dengan “kupatan”

Tradisi kupatan sudah ada sejak zaman hindu buda era majapahit sebelum kedatangan Islam. Kupatan salah satu bentuk upacara yang berkaitan dengan penghormatan kepada Dewi Sri. Dewi Sri adalah dewa kesuburan yang berkaitan dengan tanaman padi. Sehingga kupatan bahan untuk pengolahanya berasal dari beras atau padi yang dimasak di dalam janur yang sudah dibentuk dalam bentuk persegi.

Edukasi pemaknaan kupat era sunan kalijogo

Seiring dengan berkembangnya islam pada era kesultanan demak. Perubahan adat istiadat kupat ditransformasikan oleh sunan kali jogo. Dengan pemaknaan yang bermakna dalam tradisi kupat.  Bahan kupat atau kupatan berasal dari daun kelapa yang muda. Atau yang lebih dikenal dengan “janur”. Kata-kata janur merupakan kepanjangan dari Bahasa arab dari kata-kata “Jannah nur” yang mempunyai arti cahaya surge. Dalam istilah jawa juga merupakan kepanjangan dari kata-kata “jatining nur” atau hati nurani. Makna terjemahan bebas (red) munculnya cahaya surga di saat setelah menjalankan ibadah puasa. Kemudia ada yang mengartikan lagi bahwa hati sanubari perlu dibersihkan dari kesalahan-kesalahan terhadap sesame umat manusia. Dengan saling memaafkan antara satu dengan yang lainya.

Anyaman ketupat dimaknai sebagai sebuah keragaman di dalam masyarakat. Dan harus dipererat dianyam didekatkan dengan tali silaturahmi. Kupat diartikan juga dengan laku papat. Atau dalam bentuk secara dimensinya menggambarkan kiblat papat, limo pancer. Yang artinya empat arah satu pusat. Yang mempunyai arti kemanapun manusia melangkah akan kembali kepada satu tujuan yakni kembali kepada Alloh SWT. Atau juga diartikan empat arah mata angina harus tetap mengarah ke kiblat.

Perlambangan beras atau nasi adalah perlambangan nafsu manusia. Dimana selama bulan Ramadhan nafsu manusia harus tetap dikendalikan atau dikekang dengan janur. Nafsu harus dikendalikan dengan jatining nur agar menjadi manusia yang sempurna. Dan sebagai pertanda setelah Ramadhan harus tetap mengendalikan hawa nafsu. Sehingga kerap kupat dijadikan gantungan di pintu rumah sebagai jimat. Tidak lain tidak bukan adalah bentuk upaya perlambangan pengendalian hawa nafsu.

Dalam penyajian kupat sering ditambah dengan santen atau santan terkadang juga ditaburi dengan kunir. Makna simbolisasi adalah sebuah kejayaan dan juga santen atau penganpunten atau permohonan maaf.

Relevansi dengan masa pasca pandemi

Bahwa kupatan adalah bentuk syukur telah melalui bulan Ramadhan dan hari raya bagi orang yang telah menjalankan puasa syawal. Kupat menjadi hidangan saat lebaran pada beberapa kalangan. Sedangkan pada beberapa orang di hidangkan pada hari ke tujuh bulan syawal. Melihat tekstur kuliner kupat identik dengan lontong yakni beras yang di rebus dalam jangka waktu yang lama. Sehingga makanan ini bisa digunakan untuk beberapa hari. Berdasarkan dengan hal ini kupat adalah sebuah makanan yang bisa membantu untuk digunakan dalam jangka waktu beberapa hari.

Terlepas dari itu dalam menghadapi masa pandemi yang perlu ditekankan adalah rasa syukur terhadap kondisi yang ada. Dan tentunya tetap menjaga tali silaturahmi antar sesame. Dan juga tentunya dalam berhubungan dan berinteraksi dengan sesame tetap bisa mengendalikan diri sehingga bisa menimbulkan simbiosis mutualisme ditengah keberagaman masyarakat.

Tinggalkan komentar