Memberikan warna dunia yang tak terlihat, membangun ruang-ruang imajiner di kalangan pembaca tentang tanah Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja. Dengan menuangkan segelas “cengkir” ( kencenging pikir ) dari sesuatu yang tampak sederhana yakni para pedagang di sekitar Makam Bung Karno. Disambungkan dengan sesuatu yang sudah mati secara jasad, namun masih hidup terus secara pemikiran dan perjuangan dalam sosok Bung Karno. Tentang konsep yang melebur hilang perlahan, ekonomi kerakyatan, gotong royong, demokrasi ekonomi, berdikari, ketergantungan terhadap bantuan utang asing. Melihat secara sederhana aktivitas para pedagang Makam Bung Karno dan menyusun teka teki merangkai secara sederhana pemikiran ekonomi Bung Karno dalam kehidupan ekonomi masyarakat lokal Blitar. Sebagai upaya menghidupkan kembali literasi untuk meneruskan Jembatan Perjuangan Bapak Bangsa.
Geliat ekonomi di sekitar Makam Bung Karno seolah bergerak mengalir dari dahulu sejak Bung Karno di makamkan di Blitar. Seolah bergerak seperti ‘banyu mili’ dahulu awal mula sepi dan sekarang menjadi ramai dikunjungi. Hingga banyaknya bangunan infrastruktur yang mendukung mulai dari Museum Perpustakaan Bung Karno dan PIPP Makam Bung Karno. Daya magnetis pembangunan infrastruktur mengundang seperti semut yang mendatangi madu manis, geliat di area pekuburan yang disulap menjadi wisata dapur nasionalisme.
Blitar ditelisik dari aspek sejarah merupakan Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja yang merupakan Bumi tempat Pusara Raja Raja Agung Yang Berdaulat ( BLITAR ). Menjadi spirit semangat baru bukan saja aspek nasionalisme jejak perjuangan Bung Karno. Namun lebih jauh adalah fondasi literasi perjuangan raja yang “membabad kawit” nusantara. Terdapat empat raja besar yang mengelilingi Makam Bung Karno, sehingga muncul adegiom Blitar sebagai sedulur papat pancer limo nusantara. Karena Makam Bung Karno dikelilingi abu jasad Anusapati disimpan Candi Sawentar, Ranggawuni di Candi Wleri, Raden Wijaya di Candi Simping, Tribuana Tungga Dewi di Candi Penataran ( Gudel, 2014. Hal 2).
Aspek literasi budaya tersebut penting untuk di gali, bukan saja menampakan wujud yang terlihat tanpa makna. Hanya sebuah batu besar hitam tanpa makna, mustahil bisa membuat geliat perkembangan ekonomi di sebuah kota kecil bernama Blitar. Penggalian dan penampakan sejarah tertulis dan cerita cerita lain adalah penguat keberadaan Makam Bung Karno. Disamping bumbu bumbu mistis yang beredar disekitar Makam Bung Karno, seperti lukisan Bung Karno yang berdetak, Bung Karno disebut juga waliyulloh, Makam Bung Karno sebagai tempat “meminta restu” para politikus sebelum mancung di pemilu dan istilah jargon lain yang berkembang di masyarakat.
Aspek gaib, budaya, cerita mistis, daya tarik Makam Bung Karno yang berkembang di masyarakat awam adalah suatu yang patut disyukuri. Sebagai bahan literasi yang mudah dipahami masyarakat awam tentang sosok sakti Bung Karno. Terlepas dari itu semua, hal ini setidaknya menjadi pintu pembuka awal untuk mengenal lebih mendalam tentang sosok Bung Karno sekaligus pemikiran pemikiran Bung Karno. Dalam tulisan ini adalah upaya belajar sederhana dari penampakan yang terlihat yakni para pedagang Makam Bung Karno dan mencoba menelusuri dan menjahit relung relung pemikiran Bung Karno tentang ekonomi yang menjadi cita cita untuk diteruskan kepada generasi penerus bangsa.
Sangat beruntung Kota Blitar dengan adanya Makam Bung Karno dilengkapi dengan pusat literasi tingkat nasional yakni Perpustakaan dan Museum Bung Karno yang lokasinya berdekatan dengan Makam Bung Karno. Literasi tertulis dalam buku, literasi budaya Bung Karno di Blitar, mistisisme, sekaligus bangunan yang berisi berbagai jenis buku, sudah menjadi bahan bakar yang cukup untuk meneruskan gerbong perjuangan nasionalisme dari Kota Blitar untuk Indonesia.
Pedagang Makam Bung Karno, pemandangan real bidang ekonomi kota Blitar
Memandang secara kasat mata pergerakan ekonomi pedagang Makam Kota Blitar adalah bentuk real bahwa Makam Bung Karno memberikan manfaat secara real dari sisi aspek ekonomi. Munculnya kios-kios pedagang dari kecil hingga besar. Sektor kuliner, kemudian transportasi tradisional seperti becak dan dokar, kemudian penjual bunga, penginapan untuk tamu, parkir untuk roda dua, roda empat dan bus pariwisata, penginapan hotel dari skala rumahan , kos, hingga hotel berbintang. Ini merupakan gambaran sektor perekonomian yang berkembang karena adanya makam Bung Karno. Belum ditinjau lagi dari aspek pemikiran , pengetahuan, dan cita-cita Bung Karno yang perlu digali didalami dan di “take action” untuk meneruskan perjuangan.
Perkembangan ekonomi dari kota Blitar karena adanya Makam Bung Karno adalah aspek kecil disamping aspek lain yang perlu dikembangkan dan digali. Terutama untuk menjadi arahan bagi perkembangan bangsa Indonesia dalam pembangunan. Bayangkan saat perkembangan pembangunan Area Makam Bung Karno tanpa diiringi pembangunan Museum dan perpustakaan Bung Karno dan juga Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan (PIPP) Makam Bung Karno, maka nyaris perkembanganya mungkin tidak pesat seperti sekarang ini. Hal ini berdasarkan data dari dinas pariwisata dan kebudayaan Kota Blitar. Bahwa tingkat kunjungan lebih banyak ke Museum dan Perpustakaan Bung karno bila dibandingkan datang ke area Makam Bung Karno. Pada tahun 2022 jumlah kunjungan ke Museum dan Perpustakaan Bung Karno mencapai 1.1802.423 orang dan ini lebih banyak bila dibanding yang mengunjungi area Makam Bung Karno hanya sebanyak 228.019 orang (45th Bung Karno Branding in Blitar City)
Berdasarkan data kunjungan tersebut menunjukan bahwa banyak yang berkunjung ke Makam Bung Karno, bukan hanya sekedar ziarah un-sich ke Makam Bung Karno. Namun para wisatawan atau pengunjung ini juga meningkatkan literasi dan pengetahuan tentang apa dan siapa Bung Karno. Dari aspek tersebut meskipun ada perbedaan kunjungan antara ke Makam Bung Karno dan Museum dan perpustakaan Bung Karno, dampak ekonomi jika dijadikan satu kunjungan selama tahun 2022 mencapai satu juta orang lebih memberikan efek kepada usaha usaha ekonomi di lingkungan Makam Bung Karno. Wisatawan ini melakukan kegiatan parkir, menggunakan sarana transportasi, belanja oleh oleh berupa busana/kaos, kerajinan atau kuliner dan mungkin ada juga memanfaatkan sarana penginapan.
Beberapa pedagang yang berhasil kami wawancarai antara lain, pedagang sempol ayam mas Waho, dan pemilik kios Bu Pur di PIPP, penjual bunga depan makam Bu Tris dan beberapa pelaku ekonomi lain. Mas Wahono berasal dari wilayah jurang sembot, jam berangkat jual sempol sore hari setelah ashar sekitar jam 4 hingga malam hari sampai dengan dagangan habis. Tempat berjualannya berada di pojok dekat pintu tembusan masuk khusus pedagang kios utara makam Bung Karno. Untuk omset selama 1 minggu antara Rp 400.000 sampai dengan Rp 800.000,- jika ramai bahkan bisa tembus hingga Rp 1.500.000,-. “Jenenge wong dodol Mas ora mesti kenek dipatok olehe piro “ begitu ungkap Mas Wahono sambil menggoreng sempol untuk kami.
Berbeda lagi dengan Bu Tris penjual bunga yang berada di depan pintu Makam Bung Karno yang menghadap ke barat. Dengan teknik penjualan menjual bunga kepada orang orang yang parkir baik sepeda motor atau mobil yang masuk melalui pintu gerbang yang menghadap ke Barat. “Ki mau dengaren sepi mas padahal sebtu, dekwingi malah rame payu 20 … “ saat wawancara santai bersama Bu Tris. Harganya cukup murah Rp 10.000 dapat 3 plastik paket bunga. Hal ini tentu berbeda dengan penjual bunga yang melayani pengunjung yang masuk melalui jalan kalasan yang turun dari becak. Harga 1 paket bunga di plastik di kisaran harga Rp 5.000,-
Wawancara kami selanjutnya dengan Pak Sutris yang merupakan warga Kelurahan Sentul Kota Blitar. Pak Tris ini dahulu adalah tukang bubut yang mengerjakan produk mahkota sangkar burung, kemudian alu lumpang dan lain-lain. Sempat saat musim korona orderan sepi beralih profesi menjadi tukang plafon galvanis. Seiring dengan berkembanganya waktu Pak Sutris mencoba inovasi produk baru, saat itu kebetulan dimintai tolong orang penjual makam yang minta dibuatkan produk alat garuk kayu. Selama ini supply terbanyak dari daerah Ngunut atau Tulungagung. Setelah mencoba -coba akhirnya bisa dan berhasil. Untuk bahan kayu serat yang bagus diambil dari bahan kayu jati, dan untuk memperolehnya pun sangat cukup mudah dengan kulak kayu limbah dari wilayah Lodoyo. Harga untuk grosir atau harga untuk dijual lagi antara Rp 2.500,- sampai dengan Rp 3.000,- sedangkan penjualan secara retail Rp 5.000,-. Beberapa tengkulak ada yang minta pesanan 5.000 sampai dengan 10.000 buah dalam satu bulan. Untuk memasok salah satu pedagang di Makam Bung Karno saja dalam satu minggu 400 pcs garukan selalu habis dan masih kurang. Dan pedagang yang kulak atau membeli produknya biasanya langsung datang kerumah Pak Sutris tanpa perlu memasarkan ke wilayah Makam Bung Karno
Pedagang lain yang kami wawancarai adalah Bu Pur yang merupakan warga dari Sentul Rw 2. Sudah berdagang sejak 14 tahun mulai dari asongan hingga saat ini sudah memiliki 2 kios di sekitar PIPP Bung Karno. Ibu dari tiga orang anak ini sudah mengantarkan 2 anaknya hingga bangku kuliah dan anak yang ketiga sekarang masih menempuh pendidikan SMA. “ Alhamdulillah Mas ta syukuri berapapun hasil penjualan hari ini , meskipun tidak seperti jaman sebelum korona “… sambil menghitung uang perolehan hari sabtu sekitar jam 2 siang, dengan perolehan hari itu sekitar Rp 400.000,-. “Secara omset per bulan saat ini tidak pasti mas yang penting disyukuri “. Satu bulan omset bisa tembus antara Rp 4 juta sampai dengan Rp 7 juta. Menurut pengakuan Bu Pur yang suaminya meninggal saat musim corona. Sebelum korona datang bisa mencapai omset antara Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per bulan. Karena sangat mudahnya mendapatkan pembeli yang turun dari Bus rame berdatangan ke kios beliau. “ Semua pedagang podo sambat ora koyo bien, sepi mas, paling pengunjung delok-delok nggek ngeyang murah “ ungkap Bu Pur. Untuk produk yang laris pada jaman dahulu adalah baju, batik, kaos dan daster bahkan sales datang ketika bawa barang dagangan di pagi hari dengan nilai total belanja Rp 2 juta hingga Rp 3 juta, sore hari bisa langsung membayarnya dari hasil penjualan hari itu. Namung sekarang sepi, untuk produk baju tidak begitu ramai. Sekarang yang ramai adalah kerajinan. Untuk produk yang berada dalam kios dari pembelian lokal antara lain kendang djembe, kendang jawa, calty, marakas, lumpang, otok-otok yang khas produksi lokal Blitar. Sedangkan yang lainya merupakan produk luar Blitar yang dijual oleh para sales-sales. Untuk segmentasi pembeli di sini rata rata menengah ke bawah mas, kalau jual produk dengan harga kulak mahal akan sulit menjualnya. Cerita beliau tentang segmentasi pasar. “Makam Bung Karno menjadi sumber penghidupan kami sekeluarga Mas, saat perawatan suami saya sakit hingga meninggal dan sekarang meskipun gubuk saya kecil masuk di gang sudah dua lantai walaupun belum sempurna.” ungkapnya. Makam Bung Karno sangat berperan penting dalam kehidupan Bu Pur sebagai warga kota Blitar.
Mengangkat jenama/brand lokal melalui jembatan literasi perjuangan
Blitar kota kecil menjadi tempat istimewa dan dikenang dalam perjuangan dan karir politik Bung Karno. Mulai saat Bapaknya Raden Sukemi dipindah tugaskan sebelumnya di Mojokerto kemudian ke Blitar. Saat liburan sekolah di Surabaya Bung Karno pergi ke teman-temanya daerah Wlingi. Dan pada saat itu gunung Kelud meletus dahsyat hingga kedua orang tuanya khawatir dengan Sukarno. Bahkan Pak Cokro sampai berangkat dari Surabaya menuju ke Blitar untuk melihat menjenguk murid kesayanganya yakni Bung Karno,
Ikatan perjuangan lainnya yakni saat Supriyadi dan para pemuda tentara PETA Blitar sudah memberitahukan tentang rencana pemberontakan kepada Jepang. Meskipung Bung Karno tidak menyetujui, tetap mendukung dengan segala resiko yang akan diterima oleh Supriyadi dan kawan-kawan pada saat itu.
Keterikatan yang tampak nyata hingga saat ini adalah bahwa Bung Karno disemayamkan terakhir di Blitar bersama kedua orang tuanya Raden Soekemi dan Ibu Ida Ayu Nyoman Rai. Banyak peristiwa peristiwa politik berdasarkan sejarah tutur yang ada di masyarakat, yang mungkin kita bisa merasakan miris untuk merasakanya, padahal Bung Karno sudah disemayamkan, masih saja ada unsur politisasi. Yang tentu saja berdampak kurang berkembang dan lestarinya pemikiran pemikiran dan jejak sejarah perjuangan Bung Karno. Misalnya sejarah tutur era 70 – 80 an, bahwa siapapun yang berkunjung ke Makam Bung Karno saat itu wajib lapor dan tercatat di aparat militer saat itu, dan berbagai tindakan/cerita politisasi lain yang seolah memendam pemikiran Bung Karno
Begitu banyak literasi sejarah tutur atau yang terbukukan yang perlu digali lebih mendalam dari sosok Bung Karno dan Blitar. Dalam tulisan kami sebelumnya kami mengangkat judul “Tabuh Bunyi Suara dari Tanah Para Raja” ( Hariyanto, Sugeng 2024) yang mengangkat produk kerajinan kayu dari Kelurahan Sentul berupa produk kendang djembe Afrika. Berdasarkan aspek sejarah, perkembangan tabuh bunyi atau alat musik di wilayah Blitar sudah terdokumentasikan dengan baik di relief candi Palah Penataran. Artinya perkembangan musik sebagai pengiring budaya atau kegiatan masyarakat wilayah Blitar saat itu sudah ada. Kemudian berkembang sektor industri kerajinan kayu sejak zaman Belanda, berlanjut era 90 an dimana kendang djembe mulai diproduksi wilayah Kelurahan Sentul dan Kelurahan Tanggung. Praktek monopoli pasar, kapitalisme benar-benar nyata saat pembeli luar negeri datang dan merusak harga penjualan produk kendang lokal produksi Blitar.
Dan Bung Karno tahun 1955 menggagas Konferensi Asia Afrika yang cukup diakui dunia sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian. Produk kendang djembe sendiri asal muasalnya adalah dari Afrika. Menurut sejarah tutur pada Konferensi Asia Afrika delegasi kebudayaan dari Afrika salah satunya adalah pemain alat musik djembe. Mengapa kendang djembe begitu cepat masuk di berbagai pasaran dunia. Karena kendang djembe ini adalah sebuah bentuk alat musik yang mudah dimainkan oleh siapapun. Baik dimainkan dengan nada acarak, irama kontemporer, atau berdasarkan rhythm asli dari Afrika, semua orang bisa menikmatinya untuk mendengarnya.
Sebagai produk yang dibuat oleh masyarakat lokal Blitar, terutama wilayah pengrajin di Kelurahan Sentul adalah sebuah kebanggaan bisa membawakan produk ini dikenal luas dengan kualitas baik dan narasi atau cerita produk yang khas lokal Blitar. Dengan kendang djembe sebagai sebuah diplomasi bunyi untuk menggaungkan semangat nasionalisme dan sejarah cita-cita Bung Karno terhadap Indonesia tercinta ini. Dengan tabuh bunyian musik Afrika yang dibuat oleh masyarakat lokal Blitar ini sebagai pintu masuk untuk mengajarkan nilai-nilai atau ajaran-ajaran Bung Karno yang selama ini mungkin perlu diketahui oleh masyarakat luas Indonesia dan dunia.
Kata kunci konsep ekonomi yang digagas Bung Karno antara lain : Marhaenisme, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Ekonomi, Ekonomi Terpimpin, dan Ekonomi berdikari. Bagaimana relevansi teori ekonomi Bung Karno dengan perkembangan pedagang Makam Bung Karno. Titik berangkat gagasan ekonomi Bung Karno dan Bung Hatta adalah berlatar belakang keberadaan imperialisme dan kolonialisme penjajah. Dominasi penjajah yang mengeksploitasi sumber sumber kekayaan alam di Indonesia sekaligus menguras tenaga tenaga manusia Indonesia. Tidak ada unsur sama sekali untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Termasuk dalam perkembangan terakhir saat Bung Karno mulai meredup dari perpolitikan Indonesia yang menolak dominasi asing dan ketergantungan terhadap utang luar negeri.
Perkembangan pedagang Makam Bung Karno adalah berangkat dari masyarakat sendiri, berkembang dari asongan dan kemudian beberapa ada yang mendirikan lapak atau kios kios di sekitar Makam. Beberapa kios dalam perkembanganya disediakan oleh pemerintah daerah dan kemudian ada beberapa kios yang menjadi korban mekanisme pasar, meskipun tidak menjadi hak milik harga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan harga sewa karena perpindahan dari satu orang ke orang lain. Adakah ada dominasi kekuatan asing? ada walaupun tidak begitu tampak nyata seperti adanya pom bensin Shell yang didirikan sekitar PIPP Makam Bung Karno. Ada juga kekuatan modal besar / investor nasional yang menanamkan investasi di sekitar makam Bung Karno seperti Hotel Santika dan lain-lain.
Pembagian jatah kue dari Makam Bung Karno secara teoritik semestinya tetap menerapkan demokrasi terpimpin dalam hal ini pemda setempat dalam menerbitkan regulasi di sekitar Makam Bung Karno terkait penjual / pedagang Makam Bung Karno. Dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar makam yang berada dalam kategori kalangan menengah ke bawah untuk tetap mendapatkan perhatian terutama warga lokal Blitar.
Rantai pasok dari kerajinan kayu termasuk kendang djembe, calty, garuk kayu pak Sutris, lumpang kayu, marakas, ontong-ontong, horok horok, kerajinan kayu bunyi belalang adalah sebuah contoh dari konsep ekonomi kerakyatan gotong royong kekeluargaan. Rantai pasok dari hulu ke hilir yang benar benar merakyat tanpa adanya dominasi dari pengepul atau monopoli salah satu pedagang. Pak Sutris adalah salah satu contoh produsen langsung, yang distribusinya diambil oleh pedagang makam Bung Karno. Apakah memperoleh margin yang sangat tinggi dalam angka penjualan? Mungkin pada kelas UKM tidak termasuk golongan PKP ( Pengusaha Kena Pajak ). Dari segi taraf hidup sudah mampu untuk menghidupi satu istri dan dua orang anak yang masih usia sekolah. Bandingkan dengan masa perjuangan sebelum kemerdekaan, kondisi sekarang masih lebih baik bila dibandingkan dengan masa lalu.
Tidak ada kesan penindasan atau eksploitasi antara tuan dan hamba, atau jika dalam fakta pedagang Makam Bung Karno antara pemilik kios dengan penjaga tokonya. Indikatornya cukup sederhana tidak ada yang tersakiti bahkan karyawan beberapa ada yang membuka lapak sendiri di kawasan Makam Bung Karno. Kesan monopoli perdagangan juga tidak nampak, kecuali beberapa produk yang mungkin terkesan dari beberapa pedagang ada yang mendominasi namun sekarang sudah tidak lagi, misalnya produk kaos dengan brand tertentu.
Berkembangnya giat ekonomi pedagang Makam Bung Karno sudah memberikan dampak ekonomi yang cukup berarti bagi masyarakat kota Blitar. Apalagi penguatan narasi produk lokal seperti kendang djembe yang diproduksi sekitar lingkungan Makam Bung Karno. Merupakan wujud berkembangnya literasi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat Blitar selaras dengan ajaran Tri Sakti Bung Karno, gotong royong, demokrasi ekonomi, ekonomi berdikari
Jembatan literasi perjuangan adalah sebuah jalan penting untuk disebarluaskan. Mengapa penting, karena sarana prasarana ada yakni berupa pusat literasi Perpustakaan dan Museum Bung Karno yang sudah lengkap dengan berbagai buku untuk dibaca dan dipelajari. Apakah teks buku saja yang harus kita dapatkan , tentunya hal itu tidak cukup. Perlu langkah dan action atau tindakan nyata bagaimana untuk mewujudkanya. Karena banyak nilai-nilai atau ajaran ajaran Bung Karno yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Zona nyaman, makan sudah lebih dari sebenggol dalam sehari, kurang berkerja keras 1.000.000.000 extra kali lipat membuat kita lupa apa yang kita perjuangkan untuk bangsa ini dan siapa musuh kita. Kesadaran akan datangnya imperialisme modern ( pasar bebas, globalisasi ) dengan pola penjajahan baru tidak banyak yang menyadari. Seolah kita terbuai dengan hedonisme yang membuat nyaman sehingga lupa cita-cita perjuangan setelah kemerdekaan. Melalui pedagang Makam Bung Karno kita bisa menarik sebuah benang merah adanya geliat ekonomi dari kalangan masyarakat bawah yang bisa naik kelas. Namun tak memungkiri ada kekuatan modal yang besar juga ikut ambil jatah kursi di sekitar Makam Bung Karno. Salah atau benar semua tergantung kita untuk menggali literasi jembatan perjuangan yang ‘terputus’.
“ Siapa mau mentjari mutiara, haruslah berani selam kedalam laut jang sedalam-dalamja ; siapa jang dengan ketjil hati berdiri dipinggir sahdja dan takut akan terjun kedalam air, ia tak akan dapat sesuatu apa ! “ ( Sukarno, 1964 Hal 97)
Wollohua’alamu Bisowab